Pengertian rakyat dan bangsa
Pengertian rakyat sebagai unsur negara
tidaklah sekedar sejumlah orang yang berada di tempat tertentu, melainkan yang
paling penting di antara mereka adalah memiliki cita-cita untuk bersatu. Kelompok
inilah yang disebut bangsa.
Lalu, mana perbedaan rakyat dan bangsa ?
Dalam Sablon, MB (1992:16) G.S. Diponolo berpendapat, bahwa rakyat hanyalah sebagian dari bangsa,
yaitu mereka yang tidak duduk di dalam pucuk pimpinan. Sedangkan pengertian
bangsa mencakup baik pimpinan maupun rakyat itu sendiri. G.S. Diponolo
cenderung berpendapat bahwa istilah rakyat yang dipakai sebagai unsur negara
adalah tidak tepat. Istilah bangsa lebih tepat. Demikian pula menurut Padmo
Wahjono, istilah bangsa sebagai unsur negara lebih tepat, dan apabila bangsa
suatu negara dilihat secara perorangan / individu, disebut warga negara.
Hubungan
pengertian rakyat dengan penduduk dan warga negara
Dalam laman http://masudumar.wordpress.com/2013/01/28/persamaan-kedudukan-warga-negara-dalam-berbagai-aspek-kehidupan-2/, diperoleh penjelasan tentang istilah
penduduk dan warga negara sebagai berikut :
Rakyat, berdasarkan hubungannya dengan daerah
tertentu dapat dibedakan penduduk dan bukan penduduk.
- Penduduk, adalah mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam suatu wilayah negara (menetap) untuk jangka waktu lama. Penduduk yang memiliki status kewarganegaraan, disebut sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), Warga Negara Asing (WNA) yg menetap di Indonesia karena suatu pekerjaan, disebut juga penduduk.
- Bukan Penduduk, adalah mereka yang berada di dalam suatu wilayah negara hanya untuk sementara waktu. Contoh : para turis mancanegara.
Rakyat, berdasarkan hubungannya
dengan pemerintah negaranya dapat dibedakan warga negara dan bukan warga
negara.
- Warga Negara, adalah mereka yang berdasarkan hukum tertentu merupakan anggota dari suatu Negara, dengan status kewarganegaraan WN asli atau WN keturunan asing. WN juga dapat diperoleh melalui proses naturalisasi.
- Bukan Warga Negara (orang asing), adalah mereka yang berada pada suatu negara tetapi secara hukum tidak menjadi anggota negara yang bersangkutan, namun tunduk pada pemerintah di mana mereka berada (Duta Besar, Kontraktor Asing, dsb).
Dahulu orang berpendapat, bahwa suatu
bangsa hanya dapat dibentuk oleh suatu masyarakat yang berasal dari satu
keturunan, satu bahasa, satu adat-istiadat. Pandangan ini sudah tidak dapat
dipertahankan lagi. Contoh Amerika Serikat berasal dari berbagai macam
keturunan bangsa Eropa.
Perkembangan jumlah penduduk indonesia
(http://marhenyantoz.wordpress.com/2013/04/03/woow-jumlah-penduduk-indonesia-259-juta/)
Tahun 1930, penduduk nusantara
adalah 60,7 juta jiwa.
Pada sensus penduduk pertama
tahun 1961, jumlah penduduk sebanyak 97,1 juta jiwa.
Pada tahun 1971 penduduk
Indonesia sebanyak 119,2 juta jiwa.
Tahun 1980 sebanyak 146,9 juta
jiwa.
Tahun 1990 sebanyak 178,6 juta
jiwa.
Tahun 2000 sebanyak 205,1 juta
jiwa.
Dan pada tahun 2010 sebanyak
237,6 juta jiwa.
Daftar 10 negara dengan
penduduk terbanyak saat ini
(http://www.o-bras.com/2010/06/berapa
Jumlah
penduduk-indonesia.html) :
- China
- India
- Amerika Serikat
- Indonesia
- Brasil
- Pakistan
- Bangladesh
- Nigeria
- Rusia
- Jepang
Pluralitas
etnis Indonesia
Menurut Abdul Rachman Patji dalam buku
“Indonesia Menapak Abad 21 dalam Kajian Sosial dan Budaya dengan editor Muhamad
Hisyam (2001:1) ......
“Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa
Indonesia terdiri dari kolektivitas kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat
majemuk. Dari segi etnisitasnya terdapat 656 sukubangsa (Hidayah, 1997) dengan
tidak kurang dari 300 jenis bahasa lokal (daerah), dan di Irian Jaya saja lebih
200 bahasa suku bangsa (Koentjaraningrat, 1993). Wilayah lingkungan utama
kehidupannya juga memperlihatkan variasi yang berbeda-beda. Ada komunitas yang
mengandalkan pada laut sebagai sumber kehidupannya seperti orang Bajo.
Orang-orang Bugis-Makasar, Bawean dan Melayu dikenal sebagai masyarakat
pesisir; serta terdapat pula komunitas-komunitas pedalaman, antara lain orang
Gayo di Aceh, Dayak di kalimantan, Tengger di Jawa Timur, Toraja di Sulawesi
Selatan, Dani di Irian Jaya, dan lain sebagainya”.
Menurut catatan Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, selain suku atau penduduk asli
(pribumi), keturunan Tionghoa, Arab, dan India dilihat sebagai pendatang, kebanyakan tinggal di kawasan, perkotaan yang tersebar di Indonesia.
Suku Jawa adalah kelompok suku terbesar di Indonesia dengan
jumlah mencapai 41% dari total populasi.
Pembagian kelompok suku di Indonesia pun tidak mutlak dan tidak jelas
akibat perpindahan penduduk, percampuran budaya, dan saling pengaruh.
Sebagai contoh :
Sebagian pihak berpendapat orang Banten dan Cirebon adalah suku tersendiri
dengan dialek yang khusus pula, sedangkan sementara pihak lainnya berpendapat
bahwa mereka hanyalah sub-etnik dari suku Jawa secara keseluruhan.
Demikian pula Suku Baduy yang sementara pihak menganggap mereka sebagai
bagian dari keseluruhan Suku Sunda. Contoh lain percampuran suku bangsa adalah Suku Betawi yang merupakan suku bangsa hasil percampuran
berbagai suku bangsa pendatang baik dari Nusantara maupun orang Tionghoa dan
Arab yang datang dan tinggal di Batavia pada era kolonial.
Sejak pemerintahan era
reformasi, di bawah Presiden Abdulrahman
Wahid (Gus Dur), istilah pribumi dan non pribumi dihapus.
Bagaimana suku yang beragam
ini bersatu ?
Dalam laman http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20130427023 242AA1cHu7 diperoleh informasi ......
Jika kita telusuri dan cermati
secara teliti, cikal bakal kebersatuan kebangsaan dan kenegaraan dalam nama
“Indonesia,” diawali oleh adanya suatu yang disebut Max Weber sebagai subjective
meaning. Subjective meaning ini adalah (berisi) perasaan
senasib, sependeritaan dan sepenanggungan, yang terbentuk akibat sama-sama
telah mengalami penjajahan yang begitu lama, yang dilakukan oleh Belanda atas
suku-suku bangsa yang ada di nusantara ini.
Lantas Belanda ditempatkan
sebagai satu musuh bersama (common enemy).
Seterusnya, terciptalah suatu
kesepakatan membangun perjuangan bersama, untuk mengusir penjajah Belanda dari
bumi nusantara dan akhirnya bersepakat untuk mendirikan sebuah Negara di
seluruh wilayah bekas jajahan Belanda tersebut.
Itulah sebuah raison
d’etre yang merupakan alasan dan sebab awal dari berkumpulnya
etnis-etnis di kepulauan nusantara ini, yang kemudian tampil menegaskan sebuah
ikrar persatuan: tanah air, bangsa dan bahasa yang satu, yang diberi nama
“Indonesia” seperti yang tercatat dalam peristiwa Sumpah Pemuda, Oktober 1928.
Ikrar inilah yang menjadi
cikal-bakal rajutan persatuan suku-suku bangsa di kepulauan nusantara yang
kemudian bersepakat mendirikan sebuah negara-bangsa (nation-state), yang
akhirnya memperoleh kemerdekakan pada 1945. – Lahirlah Nasionalisme
Menyusul berdirinya negara baru
ini, “PANCASILA DAN UUD 1945” telah pula diterima sebagai falsafah/ideologi dan
konstitusi Negara.
Sedangkan “BURUNG GARUDA”
disepakati menjadi lambang negara, yang secara simbolis ingin menggambarkan
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang perkasa, gagah dan berani.
Kemudian, dwi-warna merah dan
putih disepakati pula sebagai warna bendera nasional Indonesia, yang
melambangkan nilai-nilai kesucian, kejujuran dan keberanian, di samping itu, ada pula dictum Bhinneka Tunggal Ika yang
juga telah disepakati menjadi semboyan nasional, di dalam mana kandungan
filosofinya menegaskan makna persatuan etnis-etnis nusantara.
Semuanya itu, adalah modal
penting untuk mengawali terbentuknya perasaan kesatuan kebangsaan Indonesia
yang multietnis dan heterogen ini (Artinya, Nasionalisme).
Walaupun ada ikrar Sumpah Pemuda, Pancasila dan UUD 45,
lambang burung Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, konflik etnis
terkadang terjadi ? Mengapa ?
Primordialisme
dan etnocentrisme
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang
teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat,
kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
Primordil
atau Primordialisme berasal dari kata bahasa
Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya
tenunan atau ikatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), primordialisme adalah perasaan kesukuan yg
berlebihan.
Ikatan seseorang
pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi
akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial
memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain
sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme,
yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya
orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata
budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai
yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging
(internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung
dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu:
- Etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain,
- Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain.
Primordialisme
suatu ancaman ?
Kelompok primordial merupakan kelompok
dasar dari setiap komunitas manusia, yang jelas tidak mungkin untuk
dihilangkan. Apakah primordialisme dan etnocentrisme merupakan ancaman bagi
suatu bangsa (baca : bangsa atau negara Indonesia) ?
Menurut Kartono.K (1996 : 137-138),
primordialisme ekstrim, kaku dan stereotypis dan sempit, akan berkembang
menjadi fanatisme, chauvinisme (kegilaan kebangsaan), radikalisme,
diskriminatif, dan eksklusivisme yang akan menimbulkan permasalahan sosial yang
mengarah kepada perpecahan bangsa. Namun lanjutnya, sentimen kesukuan dan
perbedaan etnis di masa sekarang tidak perlu dikhawatirkan sebagai ancaman,
sebab masalah perbedaan itu sudah banyak berkurang; bahkan banyak berubah
berkat adanya komunikasi yang lebih akrab, pertukaran informasi dan kebudayaan,
perkawinan antar suku bangsa, kebijakan transmigrasi, dan pelayanan
interinsuler yang lebih padat.
Sumber bacaan :
Selain laman tersebut di atas,
- Staf Cipta Loka Caraka, Kamus Politik Pembangunan, Kanisius, Jogjakarta, 1970.
- Sabon. MB., Ilmu Negara, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 1992
- Rudianto.D., Manajemen Pemerintahan Federal – Perpekstif Indonesia Masa Depan, PT Citra Mandala Pratama, 2003.
- Kartono.K., ABRI dan Permasalahannya - Pemikiran Reflektif Peranan ABRI Di Era Pembangunan., Mandar Maju, Bandung, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar