Rabu, 04 Februari 2015

Keberagaman Rakyat Indonesia



Pengertian rakyat dan bangsa

Pengertian rakyat sebagai unsur negara tidaklah sekedar sejumlah orang yang berada di tempat tertentu, melainkan yang paling penting di antara mereka adalah memiliki cita-cita untuk bersatu. Kelompok inilah yang disebut bangsa.

Lalu, mana perbedaan rakyat dan bangsa ?

Dalam Sablon, MB  (1992:16)  G.S. Diponolo berpendapat,  bahwa rakyat hanyalah sebagian dari bangsa, yaitu mereka yang tidak duduk di dalam pucuk pimpinan. Sedangkan pengertian bangsa mencakup baik pimpinan maupun rakyat itu sendiri. G.S. Diponolo cenderung berpendapat bahwa istilah rakyat yang dipakai sebagai unsur negara adalah tidak tepat. Istilah bangsa lebih tepat. Demikian pula menurut Padmo Wahjono, istilah bangsa sebagai unsur negara lebih tepat, dan apabila bangsa suatu negara dilihat secara perorangan / individu, disebut warga negara.

Hubungan pengertian rakyat dengan penduduk dan warga negara
Dalam laman http://masudumar.wordpress.com/2013/01/28/persamaan-kedudukan-warga-negara-dalam-berbagai-aspek-kehidupan-2/, diperoleh penjelasan tentang istilah penduduk dan warga negara sebagai berikut :
Rakyat,  berdasarkan hubungannya dengan daerah tertentu dapat dibedakan penduduk dan bukan penduduk.
  1. Penduduk, adalah mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam suatu wilayah negara (menetap) untuk jangka waktu lama. Penduduk yang memiliki status kewarganegaraan, disebut sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), Warga Negara Asing (WNA) yg menetap di Indonesia karena suatu pekerjaan, disebut juga penduduk.
  2. Bukan Penduduk, adalah mereka yang berada di dalam suatu wilayah negara hanya untuk sementara waktu. Contoh : para turis mancanegara.
Rakyat,  berdasarkan hubungannya dengan pemerintah negaranya dapat dibedakan warga negara dan bukan warga negara.
  1. Warga Negara, adalah mereka yang berdasarkan hukum tertentu merupakan anggota dari suatu Negara, dengan status kewarganegaraan WN asli atau WN keturunan asing. WN juga dapat diperoleh melalui proses naturalisasi.
  1. Bukan Warga Negara (orang asing), adalah mereka yang berada pada suatu negara tetapi secara hukum tidak menjadi anggota negara yang bersangkutan, namun tunduk pada pemerintah di mana mereka berada (Duta Besar, Kontraktor Asing, dsb).
Dahulu orang berpendapat, bahwa suatu bangsa hanya dapat dibentuk oleh suatu masyarakat yang berasal dari satu keturunan, satu bahasa, satu adat-istiadat. Pandangan ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Contoh Amerika Serikat berasal dari berbagai macam keturunan bangsa Eropa.

Perkembangan jumlah penduduk indonesia
(http://marhenyantoz.wordpress.com/2013/04/03/woow-jumlah-penduduk-indonesia-259-juta/)

Tahun 1930, penduduk nusantara adalah 60,7 juta jiwa.
Pada sensus penduduk pertama tahun 1961, jumlah penduduk sebanyak 97,1 juta jiwa.
Pada tahun 1971 penduduk Indonesia sebanyak 119,2 juta jiwa.
Tahun 1980 sebanyak 146,9 juta jiwa.
Tahun 1990 sebanyak 178,6 juta jiwa.
Tahun 2000 sebanyak 205,1 juta jiwa.
Dan pada tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa.

Daftar 10 negara dengan penduduk terbanyak saat ini
(http://www.o-bras.com/2010/06/berapa Jumlah penduduk-indonesia.html) :

  1. China
  2. India
  3. Amerika Serikat
  4. Indonesia
  5. Brasil
  6. Pakistan
  7. Bangladesh
  8. Nigeria
  9. Rusia
  10. Jepang


Pluralitas etnis Indonesia

Menurut Abdul Rachman Patji dalam buku “Indonesia Menapak Abad 21 dalam Kajian Sosial dan Budaya dengan editor Muhamad Hisyam (2001:1) ......

“Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari kolektivitas kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat majemuk. Dari segi etnisitasnya terdapat 656 sukubangsa (Hidayah, 1997) dengan tidak kurang dari 300 jenis bahasa lokal (daerah), dan di Irian Jaya saja lebih 200 bahasa suku bangsa (Koentjaraningrat, 1993). Wilayah lingkungan utama kehidupannya juga memperlihatkan variasi yang berbeda-beda. Ada komunitas yang mengandalkan pada laut sebagai sumber kehidupannya seperti orang Bajo. Orang-orang Bugis-Makasar, Bawean dan Melayu dikenal sebagai masyarakat pesisir; serta terdapat pula komunitas-komunitas pedalaman, antara lain orang Gayo di Aceh, Dayak di kalimantan, Tengger di Jawa Timur, Toraja di Sulawesi Selatan, Dani di Irian Jaya, dan lain sebagainya”.

Menurut catatan Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, selain suku atau penduduk asli (pribumi), keturunan Tionghoa, Arab, dan India dilihat sebagai pendatang, kebanyakan tinggal di kawasan, perkotaan yang tersebar di Indonesia. 
Suku Jawa adalah kelompok suku terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai 41%  dari total populasi.
Pembagian kelompok suku di Indonesia pun tidak mutlak dan tidak jelas akibat perpindahan penduduk, percampuran budaya, dan saling pengaruh.

Sebagai contoh :
Sebagian pihak berpendapat orang Banten dan Cirebon adalah suku tersendiri dengan dialek yang khusus pula, sedangkan sementara pihak lainnya berpendapat bahwa mereka hanyalah sub-etnik dari suku Jawa secara keseluruhan.
Demikian pula Suku Baduy yang sementara pihak menganggap mereka sebagai bagian dari keseluruhan Suku Sunda. Contoh lain percampuran suku bangsa adalah Suku Betawi yang merupakan suku bangsa hasil percampuran berbagai suku bangsa pendatang baik dari Nusantara maupun orang Tionghoa dan Arab yang datang dan tinggal di Batavia pada era kolonial.

Sejak pemerintahan era reformasi, di bawah Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur), istilah pribumi dan non pribumi dihapus.

Bagaimana suku yang beragam ini bersatu ?


Jika kita telusuri dan cermati secara teliti, cikal bakal kebersatuan kebangsaan dan kenegaraan dalam nama “Indonesia,” diawali oleh adanya suatu yang disebut Max Weber sebagai subjective meaning. Subjective meaning ini adalah (berisi) perasaan senasib, sependeritaan dan sepenanggungan, yang terbentuk akibat sama-sama telah mengalami penjajahan yang begitu lama, yang dilakukan oleh Belanda atas suku-suku bangsa yang ada di nusantara ini.
Lantas Belanda ditempatkan sebagai satu musuh bersama (common enemy).

Seterusnya, terciptalah suatu kesepakatan membangun perjuangan bersama, untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi nusantara dan akhirnya bersepakat untuk mendirikan sebuah Negara di seluruh wilayah bekas jajahan Belanda tersebut. 
Itulah sebuah raison d’etre yang merupakan alasan dan sebab awal dari berkumpulnya etnis-etnis di kepulauan nusantara ini, yang kemudian tampil menegaskan sebuah ikrar persatuan: tanah air, bangsa dan bahasa yang satu, yang diberi nama “Indonesia” seperti yang tercatat dalam peristiwa Sumpah Pemuda, Oktober 1928.

Ikrar inilah yang menjadi cikal-bakal rajutan persatuan suku-suku bangsa di kepulauan nusantara yang kemudian bersepakat mendirikan sebuah negara-bangsa (nation-state), yang akhirnya memperoleh kemerdekakan pada 1945. – Lahirlah Nasionalisme

Menyusul berdirinya negara baru ini, “PANCASILA DAN UUD 1945” telah pula diterima sebagai falsafah/ideologi dan konstitusi Negara.
Sedangkan “BURUNG GARUDA” disepakati menjadi lambang negara, yang secara simbolis ingin menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang perkasa, gagah dan berani.
Kemudian, dwi-warna merah dan putih disepakati pula sebagai warna bendera nasional Indonesia, yang melambangkan  nilai-nilai kesucian, kejujuran  dan keberanian,  di samping itu, ada pula dictum Bhinneka Tunggal Ika yang juga telah disepakati menjadi semboyan nasional, di dalam mana kandungan filosofinya menegaskan makna persatuan etnis-etnis nusantara.
Semuanya itu, adalah modal penting untuk mengawali terbentuknya perasaan kesatuan kebangsaan Indonesia yang multietnis dan heterogen ini (Artinya, Nasionalisme).

Walaupun ada ikrar Sumpah Pemuda, Pancasila dan UUD 45, lambang burung Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, konflik etnis terkadang terjadi ? Mengapa ?
Primordialisme dan etnocentrisme
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
Primordil atau Primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), primordialisme adalah perasaan kesukuan yg berlebihan.
Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu:

  1. Etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain,
  2. Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain.

Primordialisme suatu ancaman ?
Kelompok primordial merupakan kelompok dasar dari setiap komunitas manusia, yang jelas tidak mungkin untuk dihilangkan. Apakah primordialisme dan etnocentrisme merupakan ancaman bagi suatu bangsa (baca : bangsa atau negara Indonesia) ?
Menurut Kartono.K (1996 : 137-138), primordialisme ekstrim, kaku dan stereotypis dan sempit, akan berkembang menjadi fanatisme, chauvinisme (kegilaan kebangsaan), radikalisme, diskriminatif, dan eksklusivisme yang akan menimbulkan permasalahan sosial yang mengarah kepada perpecahan bangsa. Namun lanjutnya, sentimen kesukuan dan perbedaan etnis di masa sekarang tidak perlu dikhawatirkan sebagai ancaman, sebab masalah perbedaan itu sudah banyak berkurang; bahkan banyak berubah berkat adanya komunikasi yang lebih akrab, pertukaran informasi dan kebudayaan, perkawinan antar suku bangsa, kebijakan transmigrasi, dan pelayanan interinsuler yang lebih padat.

Sumber bacaan :

Selain laman tersebut di atas,
  1. Staf Cipta Loka Caraka, Kamus Politik Pembangunan, Kanisius, Jogjakarta, 1970.
  2. Sabon. MB., Ilmu Negara, PT Gramedia Pustaka,  Jakarta, 1992
  3. Rudianto.D.,  Manajemen Pemerintahan Federal – Perpekstif Indonesia Masa Depan, PT Citra Mandala Pratama, 2003.
  4. Kartono.K., ABRI dan Permasalahannya - Pemikiran Reflektif Peranan ABRI Di Era Pembangunan., Mandar Maju, Bandung, 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar